Senin, 07 Februari 2011

Gagal Jadi 'Siti Nurbaya'

“Hari gini dijodohin?” tanya saya terperangah mengomentari rencana ayah. Usul tadi terdengar mengejutkan. Apalagi saya masih 'jetlag' setelah menempuh perjalanan panjang ke rumah orangtua untuk menghabiskan sisa cuti kerja.
Batin saya tiba-tiba bertempur. Zaman sekarang, perjodohan layaknya Siti Nurbaya terkesan negatif.'Apa kata orang nanti? Jangan-jangan mereka mengira saya enggak laku,' keluh saya dalam hati.
Bukannya ge-er, tapi banyak lho pria yang mau dengan saya. Masalahnya, mereka hanya menginginkan cinta saya tanpa mau berkomitmen menikah. Tentu saja pria yang demikian saya abaikan.
Ayah terus meyakinkan saya. Niatnya terdengar tulus. Ia yakin saya akan berjodoh dengan pemuda yang ia pilihkan itu. Hati ini diam-diam tergetar ketika ayah berpromosi bahwa pria yang berprofesi sebagai guru PNS itu memiliki banyak kelebihan. “Orangnya baik, pintar dan mandiri,” ujar ayah bersemangat.
Setelah berpikir ulang, akhirnya saya mempertimbangkan niat ayah. Saya percaya, orangtua selalu berupaya memberi yang terbaik untuk anaknya. Maka, saya singkirkan perasaan gengsi dan menerima perjodohan ini dengan ikhlas.
Setelah memberi lampu hijau, ayah pun mulai menentukan jadwal pertemuan antara saya dan pria pilihan itu. Namun, Allah tampaknya berkehendak lain. Pertemuan kami selalu gagal meski ayah sudah membuat janji dengan pria tersebut. Lama-kelamaan saya jengah. Untuk menghilangkan perasaan kecewa, segera saya berpasrah kepada Allah, “Jika kami berjodoh, Engkau pasti akan mempertemukan kami.”
Anehnya, keinginan untuk mengetahui sosok pemuda PNS itu terus mengganggu pikiran saya. Akhirnya, saya beranikan diri untuk mencari informasi tanpa sepengetahuan orangtua.
Ternyata, ada teman saya yang kenal dengannya. Dari informasi teman itu, saya mengetahui kalau pria yang hendak dijodohkan oleh ayah adalah sosok yang baik dan pendiam. Persis seperti ucapan ayah kepada saya beberapa waktu lalu. Selain itu, sebelum menjadi PNS, dia pernah menjadi guru mengaji anak-anak secara sukarela tanpa imbalan. Subhanallah, hati saya langsung luluh kagum.
“Tapi, dia sudah bertunangan,” lanjut teman saya itu.
Deg! Jantung saya nyaris tak berdegup.
Saya beringsut pulang, larut dalam kekecewaan. “Jika pria itu setengah hati menerima perjodohan ini, mengapa dia memberi harapan-harapan palsu kepada ayah?” tanya saya dalam hati.
Saya pun introspeksi diri lagi, mungkinkah karena di awal saya sempat ‘ilfil’ dengan perjodohan? Saya mengadu dan menangis pasrah pada-Nya. Alhamdulillah, keikhlasan itu hadir. Ya Allah, jika sudah saatnya, saya yakin Engkau akan mempertemukan saya dengan seseorang yang Kau ridhai di waktu dan tempat yang tepat. Amin.
Lina Herlina, Warnasari, Sukabumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar